CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH BOHAI PENARI JALANAN

CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH BOHAI PENARI JALANAN


CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH BOHAI PENARI JALANAN , Hasrat-Bispak19 Semuanya orang didalamnya harus bertarung dan berkorban supaya tidak tersisih, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang tidak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun berarti gak sekedar itu. Denok  bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda yaitu orang penari, dan sering ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti sewaktu satu hari saya dan Simbok menemukan Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak punyai banyak hutang karena hilang ingatan judi, serta beliau tidak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang berduka sebab Bapak telah tak ada, tetapi juga kebingungan lantaran sekian hari sehabis Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil alih agen judi yang memberinya hutang pada Bapak. Kami tidak punyai lokasi tujuan, dan uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, moga-moga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima lantaran dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak perlu ijazah, tandingan begitu banyak. Selanjutnya sehabis lumayan lama melihat pelbagai peluang yang ada, Simbok memastikan untuk menggunakan ketrampilan kami. Dengan modal baju dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang persiapan ujian akhir SMA atau menempuh tahun awal kuliah, serta yang di kampung tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan anyar, menjual ketrampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sebatas cari keramaian di mana kami dapat mendapat sekian lembar rupiah buat bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak ringan pun cari uang dengan sebagai berikut, paling-paling yang kami peroleh cukup hanya untuk makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan tidak di seluruh tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, kadangkala kami jadi ditendang atau dihardik. Selesai lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat selalu bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekitarnya. Kami juga sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah masing-masing. Datangnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Biarpun sering helai-lembar itu dikasih ke kami kurang santun misalkan dengan disembunyikan ke kemeja kami. Apa saya dan Simbok memang menarik? Entahlah ya. Saya sendiri tak berasa elok. Sebagai anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula dari dahulu terus mengajarkan serta memperingatkan saya untuk menjaga badan biarpun secara simple, jadi walaupun sawo masak, kulit saya selalu mulus dan tak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul  sich bila di katakan saya montok. Tidak tahu mengapa, biarpun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya bisa-bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya selalu khawatir dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya pula kuat karena dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang kira demikian. Bingungnya, meski atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, kalaupun Simbok itu elok. Sampai usia begitu juga beliau masih elok. cerpensex.com Ditambah lagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok serta gak saksikan apapun kembali. Saya sendiri terus berasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum melihat kami menari kok seluruhnya omong saya elok. Saya berpikir, itu sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya kali didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet sangat. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, sampai lain warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat lebih tebal. Bibir pun diberikan gincu warna merah oke. Saya kala itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu membikin puas yang menonton."


Semakin lama saya biasa pula menggunakan dandanan semacam itu, justru saya bikin guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari kejadian penganten, sesaat bila nikah betulan harus kayak apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, serta selendang. 


Tetapi memang yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang ketahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, malapetaka tiba kembali. Waktu tengah nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kronis. Saya kuatir, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya mulai sejak ketabrak pula Simbok tidak ada angan-angan, tetapi entahlah mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Hingga sampai tidak sampai hati saya menyaksikannya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, sebab itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tak ingin tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit serta penguburan, justru harus berutang kemanapun. Saya gak bisa melaksanakan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di kontrak saja lantaran begitu berduka. Barangkali setiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok,  kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang udah habis serta saya  harus menghadapi banyak tukang tagih hutang yang tak mau tahu kepelikan saya . Maka, 1 minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya supaya gak tampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang miliki sewaan. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak punyai uang, jadi saya hanya dapat omong maaf, serta sang ibu justru ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tuturnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya masalah untuk saya. Saya ingin usaha dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA KENIKMATAN TUBUH BOHAI PENARI JALANAN


Naasnya, hari itu pasar lumayan sepi, dan selepas dua jam saya baru bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala banyak ingatan, bagaimana langkahnya biar kelak jika pulang sudah mempunyai cukup uang untuk bayar sewaan. Belum beberapa hutang yang lain. Saat siang, saya sedang jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan sedang hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu cuman tahu beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya memberinya kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Namun saya harus omong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk cost penyemayaman Simbok… saat ini saya perlu bayar sewaan dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu perlu uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya kesal namun tidak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Cuman seramnya saya tidak dapat cukup uang ini hari untuk membayar kontrak. Jika berjualan, saya tidak punyai apapun, harus jual apa?"


Tetapi lalu tatapan Juragan kok berganti menjadi aneh… Beliau dekati saya serta merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu gak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan lagi terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengayalkan apa artinya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya penting uang, tetapi apa perlu lewat cara sesuai ini? Namun kalaupun gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya gak mempunyai opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai tidak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan udah tampak muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, namun kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari lihat situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memberikan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mencermati sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari omong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tuturnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tidak sempat mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya masih tetap ragu-ragu. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Bila tidak ingin ya telah," tuturnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membuat orang hasrat ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, anyar ini kali ada lelaki buka-bukaan ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu barusan disimpan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal mulanya saya dan Simbok harus menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat mendapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh duit sejumlah itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat beroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena kemungkinan barusan saya malu serta lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta membuka kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" ucapnya.


Juragan  menggenggam paha saya masih yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, serta saya tambah deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya udah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa harusnya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun tidak tahu mengapa, saya pun kok rasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok seperti ini jadi? Juragan tak henti memandang sekujur badan saya, sembari beri pujian.


"Marilah donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama